Elastigirl, Damsels Fight Distress & 14 Tahun Penantian

(Elastigirl dalam 'The Incredibles 2'. Disney/Pixar)

 

 

14 tahun itu ga sebentar. To put things into perspective, wajib belajar aja 12 tahun. Film Boyhood, selama itu pembuatannya, 12 tahun. Dalam rentang 14 tahun sejak pertama muncul di layar lebar, Lucius Best a.k.a. Frozone sudah numpukin berbagai pengalaman job di CV-nya: jadi Agent yang ngerekrut Xander Cage sampai Xander Cage bikin comeback, done; jadi direktur S.H.I.E.L.D dan ngumpulin superhero jadi Avengers terus dijadiin abu gosok sama Thanos, done; muncul di film-filmnya Tarantino dari jadi slave sampai jadi bounty hunter, done; jadi villain pakai sim-card, ketemu RoboCop, naik pesawat penuh ular, ngelawan King Kong dan main Lightsaber di Star Wars, done! 14 tahun, Nick Fur – eh, Frozone sudah main di lebih dari 40 film dan akhirnya come back.

 

By now udah tau lah ya kita bakal bernostalgia dengan membahas The Incredibles 2. Pertama tayang 2004, sosok bocah pencinta kartun penuh makna karya Disney/Pixar kini sudah tumbuh jadi orang dewasa yang masih menyimpan sosok bocahnya itu. Dari perspektif jumlah mantan sejak 2004, coba lihat sudah sebijak apa kita sekarang dan tetep aja jiwa bocah muncul ketika tahu The Incredibles 2 bakal tayang.

 

To be completely honest, plotnya ketebak. Sementara Bob sekeluarga melanjutkan cerita tepat di momen mereka ninggalin kita 14 tahun lalu, kita sudah melalui 14 tahun idup dan ditengah-tengah wajar kalau plot-nya ketebak since memang audience yang dituju tetap sama dengan film pertama: keluarga dan khususnya anak-anak. Good to know gitu ga sih sementara kita berubah, mereka tetap sama seperti yang kita kenal dari dulu *hiks*so proud*

 

*ngusap air mataberusaha fokus* Meski demikian, dari awal film ini udah membawa kita yang pernah nonton untuk homestay bareng keluarga Incredibles. Mr. Incredibles jelas ga bisa kembali ke pekerjaan lamanya dan thank God and the scriptwriter mereka ga’ bikin Bob melalui itu semua lagi. Yang mereka lakukan: memperkenalkan Bob ke pekerjaan di rumah. Ngurus anak.

 

Ini salah satu hal yang personally gue demen dari Incredibles 2 adalah minimnya gimmick superhero landing. Haha ga sih. Yang gue suka (selain Jack-Jack, tentunya. Liat Jack-Jack yang bisa picked up gestur & gaya jalan Edna setelah nginep semalam? Gold.) adalah bagaimana Incredibles memperlihatkan kalau punya superpower ga berarti setiap hal harus diselesaikan dengan superpower. Ga seperti The Flash yang bisa baca buku Yellow Pages secepat kilat, Dash harus berjibaku sama matematika seperti anak lainnya. Violet masih berjibaku dengan early adolescent romance seperti remaja lainnya instead of menghilang entah kemana males sekolah karena udah punya super power. Bob pun, meski dengan superpower-nya, ya jadi ayah yang siap sedia mengesampingkan keinginannya turun ke jalan membasmi kejahatan demi ngurus keluarga. Pesan moral dari Bob yang nyangkut di kepala adalah setiap ayah bisa jadi superhero yang ga ada capeknya membasmi kejahatan, but parenthood is harder than being superhero. This, is true story.

 

Meanwhile, ngikut dengan trend damsels fight distress yang semakin populer *winks at Khaleesi*, Elastigirl turun langsung ke jalan dan doing better job than male superhero used to do. Oh, ga percaya? The stop-a-moving-train routine itu bukan cerita baru (Peter Parker done that in Spiderman 2, di Batman Begins pun Batman berurusan dengan kereta, The Flash pun juga pakai skenario ini di salah satu episodenya). Lalu? Elastigirl did that, no damage & no casualties.

 

Selain superhero-nya, villain pun kini jadi perempuan. Justru bermain di belakang layar, Evelyn Deavor mengatur segalanya sesuai rencana. Menjebak Elastigirl dengan Screenslaver, Evelyn dengan cerdas menguasai tempo dan kalau saja ini bukan film keluarga, dia sudah menang since satu-satunya yang mengagalkan rencana adalah ‘keterkejutan’ Evelyn melihat Jack-Jack yang memiliki superpower. A bit farfetched, memang. Mungkin pembuat film ingin memperlihatkan relasi ‘kental’ antara ibu dan bayinya alih-alih memperlihatkan bahwa Jack-Jack punya superpower yang bisa mengalahkan semua hero di situ (like, seriously). Jack-Jack berhasil melepaskan Elastigirl dari kacamata Screenslaver, dan semua dibungkus rapi dengan McGuffins actions a la Speed 2: Cruise Control (still with the ‘stop-moving-vehicle’ routine.).

 

Ada banyak pertanyaan yang muncul setelah menonton Incredibles 2: apakah The Incredibles 2 berusaha memberitahu bahwa penjahat bertopeng dan memiliki nama samaran seperti Underminer dan Syndrome tidak seberbahaya villain yang ada di antara kita, hidden in plain sight? Kenapa istri Frozone belum juga nampak batang hidungnya, apakah Disney / Pixar males gambar? Kenapa ga banyak superhero landing? Apakah Lucius Best memakai trench coat dan muncul dari bayangan itu sengaja untuk mengingatkan kita pada Nick Fury? Apakah Frozone nantinya akan mendapatkan film prequel sendiri tentang sejarahnya bersama Mr. Incredibles & Elastigirl? Apakah Frozone adalah Nick Fury yang ternyata seorang mutan mengingat deal Disney dan Fox bisa membuka jalan bagi X-Men, MCU dan Disney untuk bergabung? Bagaimana dengan Mace Windu?

 

Okay this is getting too much.

 

*ehem* Pertanyaan utama yang muncul setelah menonton Incredibles 2 tentunya adalah apakah akan ada Incredibles 3. Of course we want more. Apa harus menunggu 14 tahun lagi? Eits, sebelum buru-buru jawab “NOOOOO!”, perlu disadari juga kalau 14 tahun itu berhasil memunculkan sequel yang (arguably) lebih baik dari film aslinya. Sequel itu dilematis karena kalau terlalu mirip salah, terlalu berbeda juga ga tepat, terutama publik yang banyak mau (coba tengok juga gimana review sequel Ant-Man). Sayang sekali kan kalau terburu-buru malah jadi nanggung? *melirik ke DC Universe*

 

All and all, mau ada sequel atau enggak (maulah, dikata gue rela?), The Incredibles 2 berhasil memenuhi kerinduan pada masa kecil, berhasil memperlihatkan film kartun yang positif dan juga memperkenalkan pada anak-anak zaman sekarang kalau The Incredibles itu superhero before it's mainstream. Oh, and NO CAPE!

 

 

 
Yoga Arif is one of the survivors of French-Lit (yea it's lit) Studies at Universitas Indonesia. Working as a corporate slave since before his graduation, he changed his M.O. to a night poet with a day job, content writer/struggling author who is currently chasing a degree in the Art of Being Comfortable in Uncomfortable Circumstances. You can find him on Instagram or accidentally bump into him on Commuter.

" id="description">

Comments

Catherine Payne

Thank you for such an amazing and informative article! It’s useful to know how to continue small talk and eventually make it into a great conversation.

Ronald Chen

Catherine Payne

Thank you for your comment! I will publish more tips on social communication as well as some useful negotiation tricks so stay tuned!

Philip Bowman

Your tips helped me change my attitude to small talk, and I’m not avoiding them anymore. I hope to see more of such posts here in the future.

Send a Comment

NewsLetter

Keep up with our always upcoming product features and technologies.
Enter your e-mail and subscribe to our newsletter.