Review Film "Luis and the Wasp"

(Michael Peña dalam 'Ant-Man and the Wasp'. Marvel Studios)

 

 

“Bikin review film Ant-Man yang baru gih. Lu udah nonton ‘kan?”

“Okay. Mau bikin yang gimana?”

“Yang oke. Honest dan on point. Tapi ga’ spoiler.”

“A’ight. No doubt, no doubt.”

 

*Cue background music: Luis story*

 

So I was at the cinema with my cousin Ignacio right? We went to watch the new Ant-Man movie. That’s what we called it, because many Indonesians were struggling to pronounce the word “Wasp” right, and it’s not really Ant-Man 2 so we called it the new Ant-man movie, you know what I’m sayin? So we watched it right, and it was so sublime, bro. I mean you know me, I like Marvel movies but this one is so funny. Like crazy-stupid funny, you know what I’m sayin? And I was like “yo, the movie was mad funny, man” and he was like “no doubt no doubt –

 

“Stop stop stop! Oh. My. Gosh. Lu mau bikin review isinya kaya gitu?”

“Em…kan on point. Ini running jokes-nya film Ant-man gitu, jadi si karakter Luis…”

“Bikin review. Yang bener.”

 

 

 

That’s what happened in a nutshell. Jadi gue harus bikin review beneran instead of ngedongeng Ant-man and The Wasp trus balik jelasin Infinity War di tengah-tengah pake gayanya Luis.

 

Alright. Balik ke review. MCU makin menjadi aja sementara pesaingnya masih berada di dasar Atlantis main sama Khal Drogo. Film terbaru MCU selepas menjadikan sebagian superhero roster-nya jadi abu gosok adalah Ant-man and The Whats*pp, eh Wasp. Selesai review ini, basically pertanyaan yang harus dijawab adalah: Is it a good sequel? is it a good movie? dan How good is it?

 

Sebelum debut Scott Lang tahun 2015, Ant-man adalah film yang awalnya ‘gak diharapkan’ gitu. Kasusnya mirip-mirip Guardians of The Galaxy (2014) – sama-sama pakai lead actor dengan background komedi dan roster-nya gak se-fenomenal Avengers (meskipun formulanya sama). Lalu, meski gak sesukses GoTG Vol. 1 in terms of exceeding expectations, Ant-man justru jadi film yang “mayan” dan Ant-man and the Wasp menjadi film yang “mayan banget” alias good sequel.

 

Melihat ke belakang, Thor: The Dark Elf adalah sekuel yang forgettable, bahkan kalian yang baca pun sebagian ga ngeh kalau judul aslinya Thor: The Dark World. GoTG Vol. 2 pun banyak yang berargumen kalau mereka kurang ‘greget’, meskipun sebenarnya GoTG Vol. 2 (IMO) adalah sekuel yang bagus karena memang mengambil direction untuk memperlihatkan pertumbuhan (dan pembunuhan) karakter instead of sekadar melakukan “saving the galaxy” routine.

 

Dibandingkan dua contoh di atas, Ant-man and The Wasp bisa dibilang lebih baik considering mereka “membangkitkan kembali” Wasp 1.0 instead of membunuh salah satu karakternya *missing Yondu in the saddest fashion*.

 

Wait, kenapa dibandinginnya sama Thor The Dark Elp (sengaja disalah-salahin) dan GoTG Vol. 2? Kenapa ga bandingin sama Age of Ultron atau Iron-Man 2 atau Winter Soldier?

 

To make a point, of course.

 

Menjawab pertanyaan kedua: yap, ini film bagus. Kenapa? Ada lima alasan.

 

Satu, Luis.

 

Dua, MCU kembali menampilkan film superhero tanpa real, pure villain. FBI hanya menjalankan tugas, Ghost cuma ingin berobat, Sonny Burch cuma pengen pemasukan tambahan. Oh, dan Uzman cuma bikin truth serum.

 

Iya, iya, semua paham kalau villain-nya weak. Tapi nyatanya mereka memang ga berusaha menciptakan one villain to beat macam di film pertama. The villain to beat is Thanos. You do realize this movie is basically just people running around chasing the lab, don’t you? Namun tetap seru meskipun ada weak link-nya juga:

  1. Scott Lang bisa aja pakai kostum lama yang masih fungsi dan ga’ banyak error,
  2. Ghost yang seharusnya jadi tandem Black Widow sekaligus andalan Nick Fury pada masa keemasan SHIELD,
  3. Janet Van Dyne, em, basically manusia batere bertenaga kuantum yang somehow masih waras…?

 

Tiga, the jokesThe Antenna-I’m your mother jokes, the Luis’ jokes, the truth serum jokes, the ant-naming jokes, the 911 call joke, they’re decent jokes. Ga’ maksa, well-placed.

 

Oh, dan adegan Scott jokingly nanya Ghost apakah dia akan phase into his chest and crush his heartGold. Karena adegan itu juga menyatakan bahwa Ghost sebenarnya bisa aja ngebunuh mereka di setiap kesempatan (she is ex-SHIELD assassin after all), tapi ‘kan dia bukan real villainIt’s come off as a joke, but it got you thinking.

 

Empat, damsels fights distress. Hope, Janet dan Ghost memerankan sosok-sosok damsels yang ideal. Mereka sebenarnya ga’ butuh ditolong, tapi mereka ga’ menolak bantuan. They know what to do, and clearly not powerless. Ant-man and the Wasp malah jadi film keluarga yang saling tolong-menolong, layaknya Upin-Ipin.

 

So it is a good movie. But how good is it?

 

Untuk itu, kita masuk ke poin lima and this is what I personally loved (selain Luis): the magic trick.

 

No, no, no, bukan yang card trick. Well, yang muntah kartu lucu juga sih…tapi magic trick yang dimaksud adalah bagaimana penulis naskah established Scott Lang belajar magic trick untuk menghibur anaknya sementara ia jadi tahanan rumah tapi kemudian hal itu berdampak ke plot film. Karena belajar magic trick, Scott kerap menggunakan berbagai macam misdirection untuk mengakali Ghost dan FBI. Cerdas, ‘kan?

 

Itu yang membedakan Ant-man sebagai superhero baik di film ini maupun kemunculannya di Civil War lumayan menghibur. Ga’ sepintar Tony Stark, ga’ se-witty Peter Parker, ga’ setangkas Steve Rogers, ga’ seganteng maupun sekuat Thor but enough to be entertaining.

 

Plus, Scott Lang kemungkinan bakal jadi tokoh penting yang menyelamatkan para pahlawan abu gosok di Infinity War selanjutnya DAN dia in relationship sama Hope sementara Thor masih jomblo; just sayin’.

 

Oh, dan dari superhero yang disebutkan di atas, doi termasuk yang paling relatable; cuma doi yang udah pernah mencicipi asam-garam hidup dari masuk penjara, kerja di Baskin-Robbins, dicerai istri, ngurus anak sampai nyelametin calon ibu mertua dan bangun start-up sementara lu pada cuma duduk bengong baca review film.

 

Go do something with your life. Learn some magic trick.

 

 

 

Yoga Arif is one of the survivors of French-Lit (yea it's lit) Studies at Universitas Indonesia. Working as a corporate slave since before his graduation, he changed his M.O. to a night poet with a day job, content writer/struggling author who is currently chasing a degree in the Art of Being Comfortable in Uncomfortable Circumstances. You can find him on Instagram or accidentally bump into him on Commuter.

Comments

Catherine Payne

Thank you for such an amazing and informative article! It’s useful to know how to continue small talk and eventually make it into a great conversation.

Ronald Chen

Catherine Payne

Thank you for your comment! I will publish more tips on social communication as well as some useful negotiation tricks so stay tuned!

Philip Bowman

Your tips helped me change my attitude to small talk, and I’m not avoiding them anymore. I hope to see more of such posts here in the future.

Send a Comment

NewsLetter

Keep up with our always upcoming product features and technologies.
Enter your e-mail and subscribe to our newsletter.