10 Film Ter-Happening 2018 (Ronde Pertama)
(Ilustrasi oleh Yashika Asmi)
Dua ribu delapan belas adalah surganya film-film bagus. Berbagai film-film apik nan seru meramaikan belantara perfilman dunia, mulai dari film seram yang sukses bikin merinding sekeluarnya dari sinema, film drama yang mengharu biru, sampai film animasi yang bikin terpingkal-pingkal.
Dari ribuan judul film yang dirilis tahun ini, mengerucutkan nama-nama tersebut menjadi top of the top 10 memang bukan PR gampang. Setelah melewati debat kusir yang cukup panas, tim HPNG akhirnya berdamai dan sepakat mufakat untuk menobatkan sepuluh daftar film di bawah ini sebagai 10 Film Ter-Happening sepanjang 2018.
Sehubungan dengan hitung mundur dijalankannya resolusi ala ala tahun 2019 (iya, mulai jalannya dari hari kedua), mari mari kita sama-sama menghitung mundur daftar 10 Film Ter-Happening 2018. Countdown, cue!
10!
Crazy Rich Asians
(Constance Wu sebagai Rachel Chu. Warner Bros Pictures.)
Notable quote:
“ Bok-bok, bitch.”
- Rachel Chu
Satu kata untuk film ini: Alamak!
Crazy Rich Asian menjadi penanda dari munculnya film blockbuster komedi romantis Asia yang menyentuh pasar Hollywood. Setelah lebih dari dua dekade film komedi romantis didominasi oleh homogenitas ras kulit putih, 2018 menjadi tahun dimana Hollywood mulai berani melepaskan diri dari status quo tersebut (another movie to check: To All the Boys I’ve Loved Before).
Bercerita mengenai Rachel Chu, seorang profesor ekonomi keturunan Tiongkok-Amerika, yang menjalin hubungan asmara dengan Nick Young aka ‘Prince Harry’ versi Asia, salah satu keturunan dari keluarga terkaya di Singapore. Awalnya, Rachel mengaggap bahwa cowok yang dipacarinya itu berasal dari keluarga biasa-biasa saja. Namun, dugaan itu terbukti salah saat Rachel mengetahui bahwa Nick berasal dari keluarga yang tajir melintir 7 turunan. Drama dimulai ketika Rachel harus terseret dalam lika-liku kehidupan keluarga kaya Asia, lengkap dengan mertua rempong, sepupu-sepupu tukang gossip, sampai mantan yang muncul kembali.
Sekilas, plot Crazy Rich Asians memang serupa dengan FTV dan drakor yang sering kita jumpai di layar kaca—mungkin itulah alasan mengapa Crazy Rich Asians terasa familiar dan dekat dengan kehidupan sehari-hari. Alas,elemen itu pula yang menjadikan film ini terasa stand-out jika dijajarkan dengan film-film Hollywood lain.
Bukan hanya diisi dengan sineas keturunan Asia (bahkan hingga ke jajaran sutradara dan penulis naskahnya!), Crazy Rich Asians juga penuh akan kultur dan lawakan ala Asia. Menonton Crazy Rich Asians bukan hanya mengikuti kisah cinta Nick dan Rachel. Lebih dari itu, menonton Crazy Rich Asians seakan belajar kembali mengenai nilai-nilai hidup yang dianut oleh masyarakat timur—nilai seperti kekeluargaan, kerja keras, dan kasih sayang. Meskipun keluar dari zona nyaman film Hollywood pada umumnya, semiotika dan budaya yang coba ditonjolkan Crazy Rich Asians tidak terkesan maksa dan berlebihan. Semua kemewahan yang dipertontonkan terasa sangat realis dan masuk akal—because well, it’s real tho, Asians are crazy rich.
Overall, rasanya haram kalau gak memasukan film ini sebagai salah satu film ter-Happening 2018—wong secara film ini adalah induk dari munculnya istilah viral ‘Crazy Rich Surabayans’ yang menghebohkan jagat per-twitter-an tahun lalu.
9!
Ralph Breaks the Internet
(Ralph Breaks the Internet. Walt Disney Studio)
Notable quote:
“ WiFi, or is it WiFie?”
- Ralph
Keputusan Disney untuk mengeluarkan sequel Wreck-it Ralph enam tahun setelah film pertamanya dirilis ternyata adalah keputusan cerdas. Booming-nya pengguna internet dan socmed di tahun 2018 menjadi momentum yang sayang dilewatin oleh oportunis seperti Disney. Gak ada yang salah sama sekali dengan hal itu, toh peluang itu justru membuahkan salah satu animasi paling relevan dengan dunia nyata (dan dunia maya) masa kini.
Sekuel ini mengambil waktu tepat 6 tahun setelah Ralph dan Vanellope pertama kali kenal. Kini, Ralph dan Vanellope menjadi bestie yang nempel satu sama lain. Masalah mulai muncul ketika Ralph tidak sengaja merusak sirkuit balapan game Sugar Rush yang mengakibatkan Vanellope dan teman-teman pembalapnya harus terdepak dari rumah mereka. Ralph, didorong oleh rasa bersalah, akhirnya mengajak Vanellope untuk mengarungi luasnya dunia internet demi mencari mesin setir yang bisa mengembalikan dinamika pertemanan mereka seperti sedia kala. Namun, bukan internet namanya kalau gak memengaruhi perilaku penggunanya.
Ada beberapa alasan kenapa Ralph Breaks the Internet bisa menjuarai jajaran animasi ter-Happening yang dirilis tahun ini, namun dua poin utamanya adalah: relevansi dan referensi.
Seperti yang disebut di atas, 2018 adalah era-nya internet. Sejauh mata memandang, kita akan disuguhkan dengan pemandangan individu yang sibuk bergelut dengan socmed masing-masing. Internet is huge deal in this current time of our life— visualisasi yang disuguhkan dalam film ini seakan mengucap begitu. Berbagai referensi pop culture Internet muncul dengan tidak tanggung-tanggung, mulai dari artis Youtube, belanja di EBay, menumpas pop-up ads, hingga membaca komentar jahat netijen. Gak salah kan kalo film ini menjadi film paling kekinian sepanjang tahun 2018.
Sejalan dengan referensi yang nampang, Ralph Breaks the Internet juga membawa nilai-nilai yang relevan dengan gaya hidup generasi jaman now. Sama seperti di dunia nyata, terlalu lama menghabiskan waktu di Internet emang bisa bikin kita tersesat. Internet, meskipun sepintas terlihat glamor dan menyenangkan, ternyata menyimpan banyak efek samping yang toxic. Walaupun gak diperlihatkan secara gamblang, Ralph Breaks the Internet jadi metafora yang tepat untuk menggambarkan dua mata pisau dunia cyber.
Selain relevansi dengan dunia maya, film ini juga sangat pas dalam menggambarkan dinamika hubungan pertemanan. Di film ini, persahabatan Ralph dan Vanellope diuji ketika mereka mengalami clash perbedaan pandangan. Ralph merasa nyaman dengan rutinitas yang ia lalui dengan Vanellope di dunia game. Malangnya, perasaan tersebut tidak berbalas—Vanellope malah merasa lebih menemukan dirinya ketika menjelajahi Internet, dan memilih untuk melakukan sesuatu yang memompa adrenalinnya dibanding rutinitas yang stagnan. Meskipun tidak sependapat, Ralph dan Vanellope akhirnya bisa berdamai dengan ego masing-masing dan melanjutkan pertemanan mereka. Seperti hal yang sering terjadi dunia nyata: friends do outgrown each other and everybody’s changing.
All in all, Ralph Breaks the Internet bukanlah sekadar animasi enteng yang gampang dilupakan.
8!
Ocean’s 8
(Jajaran cast Ocean's 8. Warner Bros Pictures.)
Notable quote:
“ You do not run a job in a job!”
- Lou
Atas dasar biar asik aja, nomor 8 dalam daftar ini jatuh kepada film spin-off dari Ocean’s 11, 12, dan 13 ini.
Berkisah mengenai Debbie Ocean—salah seorang anggota geng keluarga kriminal—yang baru saja menghirup udara bebas sehabis lima tahun dipenjara. Debbie yang baru saja lolos malah merekrut beberapa perempuan muda untuk menjalankan pembobolan besar-besaran yang ia rencanakan sedari ia masih mendekam di penjara. Bersama kawanannya—Lou (partner cs-nya), Rose (sang desainer kawakan), Amita (sang tukang berlian), Nine Ball (sang Rihanna eh maksudnya sang hacker), Constance (sang tukang copet), Tammy (sang penjaga), dan satu agen rahasia yang bikin elus elus dada—Debbie berusaha menjalankan misi pencurian perhiasan yang bernilai jutaan dollar.
Sekuel dari Ocean’s trilogy ini memang bukan dirancang sebagai film aksi yang penuh tembak-tembakan ataupun bom bunuh diri. Sebaliknya, unsur komedi ringan justru dominan membalut film ini.
Meskipun sekilas konflik yang ditawarkan terlihat datar dan sederhana, Ocean’s 8 tidak kehabisan dialog-dialog pintar sekaligus receh yang membuat film ini jauh dari kata membosankan. Aksi kriminalitas Debbie cs yang dihiasi peralatan canggih, rencana mantap, dan persahabatan unik, membuat film ini menjadi film ringan yang cocok menemani girls’ night out sekaligus film berat yang bisa dikaji dari perspektif feminis.
Sebagai salah satu film yang menerapkan reverse power dari versi sebelumnya, Ocean’s 8 bukan yang pertama kali menggunakan rumus ini. Namun, film ini tercatat menjadi film yang berhasil dalam merombak jajaran narasi, pemain, dan konteks yang ada di film sebelumnya dengan tetap me-deliver hasil akhir yang memuaskan. Jauh dari kata maksa, perempuan-perempuan dalam Ocean’s 8 hadir dan me-reclaim tempat mereka secara natural, tangguh, nan halus—dalam dunia yang sebelumnya dihuni oleh laki-laki.
7!
Searching
(John Cho sebagai David Kim. Sony Pictures)
Notable quote:
“I know my daughter.”
- David Kim
David Kim, seorang single father yang hidup dengan anak semata wayangnya Margot Kim, dibuat panik tak kala Margot tidak memberi kabar sepulangnya ia dari kerja kelompok. Margot akhirnya dinyatakan hilang dan David pun bekerja sama dengan pihak keamanan untuk menemukan putrinya. Karena tidak kunjung mendapatkan hasil, David akhirnya menelusuri rekam jejak digital Margot dan menemukan hal-hal yang tidak pernah ia duga sebelumnya.
Itulah ringkasan sinopsis plot film Searching. Sepintas, film ini menyajikan rumus umum yang digunakan dalam film thriller: misteri, penculikan dan detektif. Namun diluar dari set up yang sederhana, film ini bukanlah film yang gampang ditebak endingnya atau siapa pelakunya. Jauh dari itu, film ini mampu menyajikan twist twist yang bikin tercengang (in a literal way, not a clickbait).
Twist yang disajikan sangat halus. Saking halusnya, penonton bahkan tidak sadar telah diputar-putar dalam rentetan kronologi yang menipu. Kita seakan dibawa satu langkah lebih dekat dalam menebak-nebak apa yang terjadi, hanya untuk dikagetkan karena hal yang dicari-cari ternyata sudah dari awal bersembunyi di balik punggung. Wayolo.
Perbedaan drastis lainnya juga terlihat dalam treatment yang dipilih. Meskipun bukan film perdana yang menggunakan metode kamera 3gp eh kamera media (trik tersebut udah duluan dipake Unfriended dan Paranormal Activity), Searching teteup memberi nuansa berbeda dalam konsep film thriller. Segala adegan terekam hanya melalui kamera media (layar laptop, ponsel, televisi, dunia cyber) sehingga kita bisa lebih merasakan pengalaman menonton melalui perspektif orang pertama. Kita seakan diajak mengikuti pencarian yang dilakukan David, terlibat menjadi pemain instead of sekadar penonton. Unik dan hemat budget—sekali menyelam dua pulau terlampaui lewat treatment ini.
Satu jam 42 menit dihabiskan dengan deg-degan dan diakhiri dengan napas lega—pokoknya nonton film ini memberikan pengalaman yang memuaskan sekaligus…..menyeramkan.
6!
Hereditary
(Tony Collette sebagai Annie Graham. A24 Studio.)
Notable quote:
“ She isn’t gone.”
- Joan
*Ck. Ck. Ck.* (Suara ala Charlie)
Salah satu kriteria yang mengukur sukses atau enggaknya film horror adalah seberapa membekasnya kengerian yang dirasakan sepulangnya menonton film tersebut. Kalo diukur dari skala itu, Hereditary jelas adalah film yang super duper horror ampun bwank gaada obatnya—secara, 6 bulan setelahnya, film ini masih ampuh bikin bulu kuduk joget!
Menyoroti kisah Annie Graham, seorang seniman miniatur yang mengidap depresi. Bersama suaminya, Steve, serta kedua anaknya, Peter dan Charlie, Annie mengalami rentetan kejadian aneh sesaat setelah meninggalnya ibundanya. Belakangan diketahui, kejadian yang mereka alami berhubungan dengan kutukan warisan sang nenek.
Kalau kalian mengharapkan film horror yang penuh jump scare, setan berdarah-darah, atau plot yang gampang dicerna, film ini gak mampu mengabulkan ekspektasi itu. Sebagai film horror, Hereditary bisa dibilang film yang minim banget jump scare. Absennya jump scare bukan berarti gaada suara-suara yang mendukung efek seram di film ini. Sebaliknya, suara-suara halus seperti bisikan dan kecapan justru sukses menjadi momok disturbing nan depresif yang terngiang-ngiang di pikiran.
Hal minim lainnya yang justru menjadi senjata ampuh Hereditary adalah kurangnya kemunculan setan-setan ciamik yang ada pada film-film horror biasanya. Alih-alih mengandalkan setan sebagai faktor penjual, kengerian Hereditary justru terletak pada aftertaste dari semua peristiwa yang terjadi. Salah satu adegan yang paling ngeri bukanlah di saat hantu Charlie menggentayangi Peter, melainkan justru pada momen-momen sunyi sesaat setelah Peter membunuh Charlie, serta tragedi komunikasi yang mengiringi pecahnya keluarga Graham.
Mungkin alasan itulah yang membuat Hereditary betah lama-lama menempel di kepala. Dibanding mengisahkan manusia yang dikejar-kejar hantu gaib, Hereditary justru mengisahkan hal yang lebih mengerikan: bayang-bayang hantu diri sendiri.
Eits, countdown-nya di-pause dulu ya. Kalo masih kepo, langsung lanjut aja ke bagian 2.
Catherine Payne
Thank you for such an amazing and informative article! It’s useful to know how to continue small talk and eventually make it into a great conversation.
Ronald Chen
Catherine PayneThank you for your comment! I will publish more tips on social communication as well as some useful negotiation tricks so stay tuned!
Philip Bowman
Your tips helped me change my attitude to small talk, and I’m not avoiding them anymore. I hope to see more of such posts here in the future.