Roma: Film Kalem yang Bikin Adem

(Poster film Roma oleh Alfonso Cuaron. Netflix)

 

 

Kalo ditanya prediksi film yang akan menang kategori Best Picture di ajang Academy Awards ke-91 nanti, taruhan deh bakal banyak orang yang menjagokan Roma. Film karya Alfonso Cuaron ini udah heboh terdengar di telinga sejak paruh kedua tahun lalu (agak nyesel juga sih, HPNG gak sempat memasukannya ke daftar 10 Film ter-Happening 2018). Belum apa-apa, film ini langsung digadang-gadang fix memenangkan kategori Best Foreign Film dalam ajang yang sama. Penayangannya yang terbatas di beberapa layar sinema juga membuat penonton semakin penasaran dan menunggu-nunggu jam tayangnya di Netflix. Taktik yang pintar, secara siapa sih yang gak penasaran dengan film ini—subscribe Netflix pun sini daku jabaninwong film ini sukses mencetak skor sebagai film original Netflix yang masuk nominasi terbanyak Oscar, tanpa tanggung menyabet 10 nominasi besar.

 

 

Alfonso Cuaron memang udah pernah merebut gelar Sutradara Terbaik dalam Oscar 2014 melalui Gravity (2013).  Tapi dasar sutradara hebat, lewat Roma, Cuaron kembali membuktikan diri sebagai salah satu sineas terbaik di kancah perfilman dunia. Well,  memang pantas sih film yang disebut sebagai karya paling personal bagi Cuaron tersebut mendapat pengakuan dari mana-mana, since film ini mampu menyentuh hati penonton dengan kisahnya yang kalem, puitis, dan humanis.

 

Roma bercerita tentang kehidupan seorang pekerja domestik bernama Cleo Gutierrez (Yalitza Aparicio) yang melayani keluarga kelas menengah di perumahan Roma, Meksiko, pada tahun 1970-1971. Cleo, meskipun merupakan pekerja rumah tangga, mengisi peran layaknya tulang punggung keluarga tersebut. Ia mencuci baju, membersihkan kotoran anjing, sampai merawat anak-anak majikannya seperti anak kandung sendiri. Banyaknya load pekerjaan Cleo untungnya sebanding dengan kasih sayang keluarga yang mempekerjakannya. Cleo disayang bagaikan anggota keluarga tersebut. Dalam satu titik, Nyonya rumah Cleo, Sofia (Marina de Tavira), bahkan rutin mengantarkannya ke rumah sakit untuk check-up kandungan.

 

Cleo bukannya satu-satunya asisten rumah tangga di kediaman Sofia. Temannya Adela (Nancy Garcia) adalah juru masak yang menemani keseharian Cleo. Adela juga-lah yang menjadi mak comblang antara Cleo dengan Fermin, pacar Cleo yang belakangan mencampakannya.

 

Cleo digambarkan sebagai pribadi yang cukup kalem. Ia sabar, penyayang, dan tidak parlente. Sosok kalem Cleo-lah yang kadang membuat kita lupa bahwa kita sedang menyaksikan kisah hidup Cleo, bukan orang-orang di sekitarnya. Lewat kacamata Cleo, kita diarahkan untuk melihat drama-drama dan konteks sosial yang menjadi background kehidupan Cleo. Dengan sikapnya yang sering nrimo, kita diajak menjadi pengamat pasif dalam permasalahan marital Sofia dan suaminya, protes mahasiswa pro-demokrasi yang mendorong Tragedi Corpus Christi, hingga perbedaan kelas yang masih terasa kental pada masa tersebut.

 

Eits tapi jangan salah, kita gak dibuat sepenuhnya lupa akan posisi Cleo sebagai fokus utama cerita kok. Meskipun dibawa dengan pace yang halus, kehidupan Cleo tetap memiliki drama-nya sendiri. Dari mulai unexpected pregnancy, ditinggal kabur mantan, terjebak gempa, hampir ditembak (literally) the said-mantan, keguguran, hingga hampir tenggelamkehidupan Cleo jelas tidak sedatar itu.

 

Poin yang membedakan film ini dengan film sejenis lain adalah: meskipun memiliki konflik yang multilayer dan beberapa scene yang menyenggol political thriller, film ini tetap disuguhkan dengan gaya yang dingin dan adem, sehingga penonton tidak dibuat larut dalam tensi konflik yang tinggi. Sepanjang film kita akan disuguhkan dengan efek visual serta suara yang menenangkan, mulai dari potret sederhana air genangan pel yang menyentuh ubin, bunyi nyiur pantai, suara tawa anak kecil, hingga Bahasa Spanyol yang puitis romantis uwu. Selain itu, gaya visual hitam putih pun juga jadi poin unik yang menunjang kekhusyukan nonton. Hasilnya seperti menikmati video ASMR dalam skala besar, minus desah-desah mesra di telinga.

 

Dari sisi cerita, film ini sejujurnya tidak menceritakan cerita dengan bobot yang berat. Meskipun dikelilingi konflik yang cukup tajam, film ini hanya berfokus pada kepingan hidup Cleo. Ini bukan kisah detektif, perampokan, atau kisah cinta penuh adegan amnesia a la sinetron-sinetron—yang ada dalam film ini hanyalah kesederhanaan sekaligus kenihilan hidup Cleo.

 

Emang udah terbukti hebat, Cuaron dapat mengemas kisah rutinitas hidup sederhana tersebut dengan apik dan menyentuh. Dalam dunia Roma buatan Cuaron, visual dan perbuatan bersuara lebih keras dibandingkan kata-kata. Cuaron mampu membuat adegan sesi peluk-peluk haru di pantai di kala senja dengan backsound fourtwnty menjadi adegan yang bernilai mahal. Dalam satu potongan adegan tersebut juga, akhirnya kita diberi unjuk sosok karakter Cleo yang lebih ‘hidup’. Lewat potongan dialog kecilnya (" I didn't want her to be born."), Cleo bukanlah lagi karakter 2 dimensi. Ia punya pemikiran, perasaan, dan idealismenya sendiri. Cleo memang kalem dan penurut, tapi Ia juga kuat dan punya hati yang besar.

 

Secara sosial, film ini juga mampu memberikan kesan humanis kala menangkap perjuangan perempuan (khususnya perempuan kelas bawah) dalam bertahan hidup. Film ini juga memberikan ruang lebih bagi persoalan domestik yang selama ini sering dianggap receh dan diabaikan.

 

Yang terakhir, tangan nyeni Cuaron sepertinya memang jago dalam menghidupkan cerita yang ngena. Mungkin hal ini sedikit banyak didorong oleh motivasi Cuaron untuk memberikan kado terbaik bagi Liboria Rodriguez (Libo), pengasuh masa kecilnya yang juga merupakan inspirasi di balik pembuatan Roma. Keniatan Cuaron juga dapat dilihat dari persiapannya mengkurasi 110 orang calon cast sebelum menjatuhkan pilihannya pada Yalitza Aparicio sebagai Cleo—pilihan yang sangat tepat karena acting natural Aparicio merupakan jiwa dari keseluruhan penokohan Cleo.

 

Pada akhirnya, Roma adalah masterpiece ke-sekian Cuaron yang membuatnya lebih dari pantas untuk menduduki kursi sutradara terbaik dalam ajang manapun. Pernyataan pribadi ini dilandaskan atas keberhasilan Cuaron memberi oasis segar bagi penonton yang terhanyut dalam memori masa kecilnya..

 

Pokoknya: Roma >>> ASMR, Cuaron>>>Oscar, dan Roma Irama>>>Ridho Roma. Titik.

 

 

 

Kurnia Latif Maulani is currently balancing a campus life as an advertising student, a professional life as a freelance writer, and an alternate life inside her own head. You're always welcome to say hi on her Instagram (but beware of her spamming your timeline with cat videos).

Comments

Catherine Payne

Thank you for such an amazing and informative article! It’s useful to know how to continue small talk and eventually make it into a great conversation.

Ronald Chen

Catherine Payne

Thank you for your comment! I will publish more tips on social communication as well as some useful negotiation tricks so stay tuned!

Philip Bowman

Your tips helped me change my attitude to small talk, and I’m not avoiding them anymore. I hope to see more of such posts here in the future.

Send a Comment

NewsLetter

Keep up with our always upcoming product features and technologies.
Enter your e-mail and subscribe to our newsletter.