Three Billboards Outside Ebbing Missouri: Hitam Putih Manusia
(France McDornand sebagai Mildred Hayes. Fox Searchlight Pictures.)
Dari judulnya yang panjang, to the point, serta gak punya subjek dan predikat, pasti banyak yang gak menyangka jika film Three Billboards Outside Ebbing Missouri adalah film yang benar-benar manusiawi. Emang sih, terjemahan harfiahnya itu “ tiga buah billboard di luar Ebbing, Missouri”. Dan heeh sih, billboard juga mengambil slot cerita yang besar dan bahkan menjadi katalis utama dari segala konflik yang terjadi. Tapiiiii, di luar pemilihan judul yang minim konteks itu, Three Billboards Outside Ebbing Missouri adalah film tentang pembalasan dendam, penebusan dosa, dan naluri dasar manusia.
Selaras dengan judul, cerita dibuka dengan scene yang to-the-point pula. Mildred Hayes (Si galak nan softie France McDormand) sedang jalan-jalan pagi dengan mobilnya ketika ia melihat 3 papan billboard yang kosong melompong dan gak terawat. Kayaknya sih itu billboard udah lama gak dilirik ahensi iklan atau timses caleg.
Usut punya usut, ternyata Mildred tertarik buat memasang iklan sindiran pada 3 billboard tersebut. Sehabis mengurus legalitas dan pembayaran sewa di muka kepada Red Welby (Celeb Landry Jones)—sang penyewa—esoknya sindiran Mildred sudah terpampang besar-besar di ketiga papan. Dengan background merah ngejreng dan copy yang eye-catching, billboard tersebut sulit untuk dilewatkan oleh para pengemudi yang lewat.
Kalo dibaca berurutan, copy billboard tersebut kurang lebih berbunyi: “ Raped while dying”, “ And still no arrest.”, “ How come Chief Willoughbi?”.
Ya kan. Straigh to-the-point lagi.
Pesan Mildred secara terang-terangan menyasar pihak kepolisian setempat, terutama Chief Bill Willoughbi (Woody Harrelson) yang merupakan kepala kepolisian. Doi juga lah yang memimpin kasus investigasi Angela Hayes, putri bungsu Mildred yang mati dibakar hidup-hidup setelah diperkosa. Melihat situasi yang terjadi, rasa-rasanya kemarahan dan impulsivitas Mildred dapat dimaklumi—secara 7 bulan sejak kematian putrinya yang mengenaskan, kasus tersebut sama sekali belum menemukan titik terang. Belum ada satupun bedebah yang ditangkap, pun juga tak ada follow up lanjutan. Kasus tersebut seperti terselip di antara tumpukkan kehidupan, menunggu untuk dilupakan.
Namun, kendati merasa ditampar dengan pesan billboard tersebut, pihak kepolisian juga masih gabut-gabutan alih-alih berusaha lebih becus dalam menjalankan tugasnya. Willoughbi yang paling merasa terpukul karena namanya dipajang terang-terangan, juga gak bisa berbuat apa-apa dalam membalaskan dendam Mildred. Walau merasa bersalah, hal yang pertama Willoughbi pedulikan adalah reputasinya. Ia meminta Mildred untuk menurunkan namanya dan berjanji akan terus berusaha mencari tersangka tersebut di tengah-tengah kanker pankreas yang menggerogotinya. Sayang, Mildred tetap ogah bergeming dan berbelas kasih.
Karena sikapnya yang keras dan bodamatan, banyak teman dan simpatisan Willoughbi yang akhirnya ikut-ikutan mengintimidasi Mildred untuk menurunkan billboard-nya. Salah satunya adalah Jason Dixon (Sam Rockwell), si polisi bigot yang gak segan buat main tangan demi melindungi nama baik Willoughbi. Meskipun super nyebelin, kemunculan Dixon berkontribusi banyak pada iklim kelam sekaligus gregetnya cerita. Banyak momen-momen di mana munculnya Dixon merupakan pertanda malapetaka buruk yang akan terjadi, seperti adegan Dixon yang kalap dan menonjok Welby hingga babak belur. Kala menyaksikan segala kebengisan Dixon, kita dipaksa untuk melihat cerminan naluri dasar manusia yang membenci sekaligus ingin selalu merasa benar.
Satu hal yang perlu diingat dari film ini adalah, tidak ada karakter yang benar-benar keji ataupun benar-benar suci. Semua karakter memiliki kompleksitasnya sendiri hingga seringkali meleburkan batasan hitam putih moralitas.
Mildred, meskipun digambarkan sebagai sosok ibu yang baddast dan rela melakukan apapun demi anak-anaknya, juga tidak luput dari ego yang tinggi. Dalam kilas balik percakapan terakhir dengan Angela, kita dapat melihat bahwa Mildred merupakan sosok ibu yang mengekang, keras kepala, dan cukup kasar. Dalam percakapan terakhir tersebut pula, Mildred kelepasan menyebut bahwa Ia berharap Angela diperkosa di tengah jalan—doa yang menjadi penyesalan terbesarnya hingga akhir cerita.
Lalu, Willoughbi. Meskipun memiliki momen-momen pretensius dan arogan, ternyata ia adalah sosok yang sangat sayang keluarga. Dalam momen terakhirnya, Willoughbi pun masih berusaha memberikan yang terbaik dari sisa hidupnya. Ia memberikan kenangan terakhir yang menyenangkan bagi istri dan anak-anaknya supaya tidak sakit hati akan kepergiannya. Kepada Mildred, Willoughbi juga memberikan surat permintaan maaf akan kegagalannya, serta (bagian ini merupakan plot twist yang cerdas) membayar lunas cicilan bulan kedua billboard yang memajang namanya. Willoughbi juga adalah satu-satunya orang yang menaruh percaya pada Dixon sekaligus sosok ajaib bak ayah peri yang mengubah nurani Dixon.
Sementara Dixon—di balik sifat kasarnya—juga memiliki alasan tersendiri. Sifat Dixon yang brutal dan seenaknya bukanlah hal yang datang begitu saja. Absennya sosok ayah serta hidup dengan ibu yang tough membuatnya melihat kekerasan sebagai penyelesaian masalah. Meskipun gak sepenuhnya menjustifikasi, tapi at least Dixon berhasil mendapat sedikit simpati penonton.
Hal yang makin menambah kompleksitas karakter adalah perubahan sikap yang dirasakan di akhir cerita. Dalam Three Billboards Outside Ebbing Missouri, tokoh-tokoh yang ada sama-sama diberi porsi character development yang pantas. Mendekati akhir, Dixon tobat dan berubah haluan menjadi partner Mildred, sementara Mildred yang sudah terlanjur dikecewakan oleh kinerja polisi malah termakan murkanya dan membakar habis kantor kepolisian.
Seperti yang sudah disebut, gak ada tokoh yang benar-benar suci maupun keji. Semua orang membalas dendam. Semua orang menebus dosa.
Secara keseluruhan, Three Billboards Outside Ebbing Missouri adalah potret gelap yang menggambarkan batasan abu dari moral manusia. Ketiga tokoh central—Mildred Hayes, Bill Willoughbi, dan Jason Dixon—kompak membuat penonton bimbang dalam memihak sekaligus berkaca pada nurani masing-masing. Lewat film ini, kita diajari untuk tidak menghakimi sesuatu dari satu sisi.
Pada akhirnya, segala kejadian yang terjadi dalam Three Billboards Outside Ebbing Missouri memang tidak menawarkan resolusi dan penyelesaian. Namun, bukan berarti film ini tidak meninggalkan jejak-jejak penyesalan dan harapan.
Mungkin disitu cantiknya. Hingga akhir, film ini tetap konsisten dengan ending yang terbuka—menawarkan dua sisi yang mungkin terjadi.
Singkatnya, film ini membawa pesan moral bahwa: dunia ini gak hanya terbentuk atas hitam dan putih layaknya Or*o yang dicelup dalam segelas susu, gaes.
Jadi, mbok dipikir-pikir lagi yo gaes sebelum ngejulid-in orang. Ehe, peace lav and gawl all.
*merk biskuit yang gak boleh disebut namanya.
Kurnia Latif Maulani is currently balancing a campus life as an advertising student, a professional life as a freelance writer, and an alternate life inside her own head. You're always welcome to say hi on her Instagram (but beware of her spamming your timeline with cat videos).
Catherine Payne
Thank you for such an amazing and informative article! It’s useful to know how to continue small talk and eventually make it into a great conversation.
Ronald Chen
Catherine PayneThank you for your comment! I will publish more tips on social communication as well as some useful negotiation tricks so stay tuned!
Philip Bowman
Your tips helped me change my attitude to small talk, and I’m not avoiding them anymore. I hope to see more of such posts here in the future.