Isn't It Romantic: Film Komedi Romantis Buat yang Anti Komedi Romantis

(Rebel Wilson sebagai Natalie. Warner Bros Pictures)

 

 

Entah apa yang terjadi, sejak pertengahan tahun lalu Netflix sepertinya sedang ketagihan memproduksi film-film komedi romantis atau dalam bahasa gaulnya, romcom. Mulai dari rilisnya “ Kissing Booth” yang yha bolehla, “ To All The Boys I’ve Loved Before” yang meningkatkan level ke-baper-an, sampe “ You” yang saking romantisnya malah jadi serem (eh loh). Meski gak sepenuhnya mengobati kerinduan akan film-film romcom era 80-90an (but seriously tho 90s romcoms are the best), seenggaknya usaha Netflix cukup meredakan dahaga para fakir romcom yang semakin kesusahan dalam mencari aset film komedi romantis di era ini.

 

Di tengah-tengah langkanya produksi film romcom, “ Isn’t It Romantic” garapan Netflix muncul bagaikan oase segar dalam bentuk satir yang mengajak kita menertawakan sekaligus jatuh cinta pada narasinya. Dengan memberi penekanan lebih pada aspek komedi dibanding romansa, Netflix membawa kita pada rekonstruksi ulang rumus komedi romantis yang umum ditemukan dalam film-film besutan Nora Ephron atau Garry Marshall.

 

Dalam “ Isn’t it Romantic”, Natalie (Rebel Wilson) adalah sang tokoh utama. Sejak kecil, ia terbiasa dijejalkan dengan narasi perempuan-cantik-yang-tidak-sengaja-ketemu-dengan-cowok-ganteng-dan-berakhir-bahagia melalui film-film komedi romantis yang ia tonton. Sayang, ibu Natalie tidak senaif itu. Dengan terang-terangan sang ibu menceramahinya dengan kutipan: “ ….life’s not a fairy tale. Girls like us don’t get that.” (baca: kalo kamu bukan Julia Roberts, jangan mimpi deh!)

 

Sindiran sang ibu sebetulnya ada benarnya juga. Jarang-jarang kan kita melihat representasi sosok perempuan yang biasa-biasa saja dalam frame film romcom. Boro-boro kulit berminyak, muka jerawatan, atau badan yang gak singset—sebagian besar tokoh perempuan dalam film romcom kerap digambarkan sebagai sosok sempurna yang memasang makeup spot-on seharian full, bahkan ketika baru bangun tidur. Mamam noh realistis.

 

Sepakat dengan doktrin tersebut, Natalie tumbuh menjadi kaum skeptis yang anti sama apapun yang berbau romcom. Ia bahkan gak sungkan menghabiskan 3 jam waktunya buat menjelaskan daftar ke-klise-an film romcom pada sahabatnya, Whitney (Betty Gilpin). Daftar tersebut di antaranya: adanya gay best friend, rivalitas antar perempuan di tempat kerja, pemeran perempuan yang sering jatuh/kejedot/nabrak di manapun, sampai adegan slow-motion di tengah-tengah film.

 

Naluri skeptis dan pesimis Natalie akan segala hal yang berbau romantis sebenernya ada hubungannya dengan rasa insekyur yang ia punya. Tumbuh dengan badan yang jauh dari standar ideal masyarakat, Natalie percaya bahwa gak ada tempat untuk dirinya dalam hubungan romantis seperti yang digambarkan film-film romcom. Meski diam-diam ditaksir oleh teman sekantornya, Josh (Adam Devine), Natalie tetap ogah mengubah pandangannya terhadap romcom. Bukan cuma dalam ranah percintaan, sifat kurang percaya diri Natalie juga turut mempengaruhi performanya dalam bidang pekerjaan. Ia diacuhkan dan sering diinjak-injak di ruang kantornya, meskipun sebenarnya ia adalah arsitek yang cukup brilian.

 

Sampai titik ini, elemen-elemen dalam film “ Isn’t It Romantic” mungkin tidak terlihat cukup berbeda dengan rumus film komedi romantis pada umumnya. Namun jika kalian sabar menunggu hingga beberapa menit lagi, kalian akan menemukan bahwa alih-alih menjadi film komedi romantis mainstream, “ Isn’t It Romantic” adalah film parodi komedi romantis yang berkedok sindiran terhadap narasi klise film romcom.

 

Cerita mulai menarik saat Natalie menjadi korban pencopetan di stasiun kereta dan menabrak tiang dengan keras. Tiba-tiba, ia bangun dan menemukan dirinya terjebak dalam salah satu skenario mimpi terburuknya. Yap, ia terjebak dalam plot klise film komedi romantis!

 

Transisi kehidupan datarnya menjadi romcom lyf dapat ditemui di mana-mana. Mulai dari transisi color grading yang tadinya semi abu-abu menjadi warna-warni pastel cerah a la “Black Mirror: Nosedive”, toko-toko bunga yang secara ajaib muncul di setiap sudut jalan, sensor PG-13 setiap kali ia mengumpat, backdancer India yang menari secara random, sampai Liam Hemsworth (plus aksen seksi Australia-nya) yang kepincut dengan Natalie dan gak henti-hentinya memujinya dengan kata ‘beguilling’. Natalie sadar bahwa dalam kehidupan normalnya, hal itu hampir gak mungkin terjadi.

 

Alih-alih bahagia seperti perempuan pada umumnya, Natalie malah menderita dengan kehidupan barunya. Dalam rangka keluar dari skenario film romcom tersebut, Natalie berpikir bahwa ia harus membuat cowok jatuh cinta dengannya, seperti rumusan happy ending yang ada di film-film romcom. Tapi, seperti yang sudah dibilang sebelumnya: “ Isn’t It Romantic” bukanlah tipikal film komedi romantis biasa.

 

Sebagai film komedi romantis, jelas aja film ini tidak dimaksudkan untuk membuat kita berpikir keras mengenai politik atau makna kehidupan seperti film-film berat a la Oscar darling. Film ini lebih ditujukan untuk membuat kita tertawa keras akan kocaknya aksi Rebel Wilson dkk sekaligus kejeniusan penulis naskah dalam menanggapi ke-absurd-an dan ke-tidak-realitis-an dunia komedi romantis Hollywood. Namun meski termasuk film yang ringan dan cocok ditonton di kala stress, bukan berarti film ini minim pesan sosial. Di akhir, meskipun cukup klise dan ketebak, tapi pesan love yourself yang didengungkan film ini cukup membuat kita merenungkan kembali konsep relasi antara hubungan romantis dan kebahagiaan seseorang.

 

Bukan cuma melawan stereotipe representasi simbol dalam film komedi romantis—yang diwujudkan melalui pemeran utama perempuan yang unconventional dan gimik-gimik parodi cerdas—“ Isn’t It Romantic” juga berupaya merekonstruksi ulang pesan moral yang dibawa oleh film komedi romantis. Film ini ikut menggaungkan pesan bahwa pada akhirnya, hubungan romansa yang paling penting adalah hubungan romansa dengan diri sendiri—kebahagiaan bukan datang dari jatuh cinta pada sosok sempurna, melainkan dengan jatuh cinta pada kelebihan dan kekurangan diri.

 

All in all, “ Isn’t It Romantic” adalah film komedi romantis yang cocok ditonton oleh penggemar romcom maupun kaum anti-romcom. Karena hanya di film ini, kita bisa ber-aww dan ber-uwu ria sekaligus berdecak dan menertawakan ke-klise-an plot romcom. Seems like it works for both ways, isn’t it?

 

 

 

“ Isn’t It Romantic” bisa ditonton di layanan streaming Netflix per tanggal 28 Februari 2019. Jangan lupa baca juga artikel review Captain Marvel yang kalian tunggu-tunggu.

 

 Kurnia Latif Maulani is currently balancing a campus life as an advertising student, a professional life as a freelance writer, and an alternate life inside her own head. You're always welcome to say hi on her Instagram (but beware of her spamming your timeline with cat videos).

Comments

Catherine Payne

Thank you for such an amazing and informative article! It’s useful to know how to continue small talk and eventually make it into a great conversation.

Ronald Chen

Catherine Payne

Thank you for your comment! I will publish more tips on social communication as well as some useful negotiation tricks so stay tuned!

Philip Bowman

Your tips helped me change my attitude to small talk, and I’m not avoiding them anymore. I hope to see more of such posts here in the future.

Send a Comment

NewsLetter

Keep up with our always upcoming product features and technologies.
Enter your e-mail and subscribe to our newsletter.