Kamila Andini Bicara tentang Dualisme, Surrealisme, dan Representasi Diri dalam Sekala Niskala

(Festival Sinema Australia Indonesia. Kurnia Latif Maulani/Happening Films)

 

 

Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) resmi dibuka di CGV Grand Indonesia Jakarta pada Kamis, 14 Maret 2019 kemarin. Pada festival yang udah mampir ke Indonesia selama 4 tahun berturut-turut ini, film garapan sutradara Kamila Andini, “ Sekala Niskala” atau “ The Seen and Unseen” (2017), ditunjuk menjadi film kehormatan yang mengambil slot tayang pertama.

 

Pertama-tama, acara dibuka dengan sesi pemutaran “Sekala Niskala” yang sudah mendapat pengakuan dari berbagai festival film dunia seperti Toronto International Film Festival 2017, Busan International Film Festival 2017, Asia Pacific Screen Award 2017, dan segudang nama lainnya. Film berdurasi 86 menit ini berkisah tentang sepasang kembar buncing Tantra dan Tantri yang menghabiskan sisa-sisa waktu mereka dengan bermain dan menari bersama di kamar rumah sakit. Mengambil latar Bali sebagai fokus cerita, film ini mengangkat tema-tema besar seperti kehilangan, dualitas, dan realisme magis.

 

Sehabis pemutaran film, Kamila Andini selaku sang sutradara merangkap produser, maju dan mengambil tempat di panggung untuk menemani sesi Q&A dengan para penonton. Pertanyaan menarik datang dari salah seorang penonton yang penasaran soal makna dan inspirasi di balik diangkatnya adat Bali sebagai latar cerita.

 

Menjawab pertanyaan tersebut, Kamila mengakui bahwa alasan ia tertarik dalam mengangkat latar kehidupan Bali adalah karena ia kepincut dengan uniknya filosofi rakyat Bali. Dalam adat Bali, ‘sekala niskala’ diartikan dengan ‘keseimbangan’—hal inilah yang berusaha ia angkat secara halus melalui visual dan narasi yang tertutur dalam cerita. Lewat film ini juga, Kamila kepingin bicara tentang dualisme dan surrealisme yang hidup di realita masyarakat Bali. Dualisme tersebut diwujudkan dalam simbol-simbol yang tersebar di beberapa titik cerita—semisal halus dan kasar; siang dan malam; hidup dan mati; laki-laki dan perempuan; realita dan surrealisme.

 

Pemilihan kembar buncing sebagai karakter utama juga terinspirasi dari kepercayaan adat Bali yang menganggap mereka sebagai sosok reinkarnasi leluhur. Sebagian rakyat Bali percaya bahwa sepasang kembar buncing adalah pembawa keberuntungan—sementara sebagian lagi menganggap mereka sebagai pembawa malapetaka buruk sehingga harus dilakukan upacara tertentu. Elemen mistis dan kepercayaan adat tersebut membuat Kamila semakin tertarik untuk mengangkat relasi persaudaraan kembar buncing dalam filmnya.

 

Selain itu, Kamila juga punya pandangan yang unik dalam memaknai dualisme dan surrealisme di Indonesia.

 

“Realita di Indonesia sangat surrealis,” ujar sosok yang juga merupakan sarjana Sosiologi & Seni Media di Universitas Deakin tersebut.  Bagi Kamila, Indonesia memiliki realita yang terasa sangat surreal—dengan segala kepercayaan yang ada dan peristiwa-peristiwa yang terjadi—meskipun secara bersamaan juga apa-adanya.  Perasaan inilah yang Kamila hidupkan dalam film.  “Makanya pendekatan yang kita pake sangat realis tapi yang ditangkap adalah hal-hal yang surreal di realita,” lanjutnya.

 

Bukan cuma lewat narasi, momen surrealis yang ingin Kamila sampaikan juga didukung oleh aspek  teknis pengambilan gambar  yang dipikirkan matang-matang. Setiap  shot  yang ditangkap selalu dimaksudkan untuk mengikuti tujuan adegan—baik itu buat mengajak penonton ikut berkontemplasi maupun menyisipkan perasaan-perasaan tertentu. Teknik kamera  yang bersifat move atau still juga disesuaikan dengan perspektif karakter.

 

Namun, di balik semua alasan besar di atas, niat utama Kamila dalam membuat film ini berangkat dari pertanyaan dasar: ‘siapakah dirinya sebagai orang Indonesia?’. Film ini, tidak lain dan tidak bukan, adalah bentuk representasi diri Kamila sebagai rakyat Indonesia. Meskipun bukan orang Bali tulen, Kamila merasa sebagai rakyat Indonesia—khususnya perempuan keturunan Jawa—ia memiliki koneksivitas yang dalam terhadap surrealisme magis yang tersisip di ritual adat dan kepercayaan rakyat Bali.

 

Toh, ketika bicara seputar adat dan kultur pribumi, Kamila meng-highlight bahwa semua orang indigenous adalah orang yang mencari akarnya masing-masing. Dan serupa dengan mereka, Kamila pun berusaha untuk menemukan akarnya sendiri melalui Sekala Niskala.

 

 

 

*Festival Sinema Australia Indonesia (FSAI) merupakan bentuk kolaborasi antara industri film Indonesia dan Australia. FSAI 2019 akan digelar pada tanggal 14-31 Maret 2019 di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan Mataram.

 

Kurnia Latif Maulani is currently balancing a campus life as an advertising student, a professional life as a freelance writer, and an alternate life inside her own head. You're always welcome to say hi on her Instagram (but beware of her spamming your timeline with cat videos)

Comments

Catherine Payne

Thank you for such an amazing and informative article! It’s useful to know how to continue small talk and eventually make it into a great conversation.

Ronald Chen

Catherine Payne

Thank you for your comment! I will publish more tips on social communication as well as some useful negotiation tricks so stay tuned!

Philip Bowman

Your tips helped me change my attitude to small talk, and I’m not avoiding them anymore. I hope to see more of such posts here in the future.

Send a Comment

NewsLetter

Keep up with our always upcoming product features and technologies.
Enter your e-mail and subscribe to our newsletter.