Unicorn Store: Repotnya Menjadi Dewasa
(Cuplikan 'Unicorn Store'. Netflix)
Buat yang udah kangen ngeliat aksi duo Carol Danvers dan Nick Fury, kalian gak perlu khawatir. Karena, sebulan selang naiknya Captain Marvel, Netflix baru aja meluncurkan film baru yang memejeng wajah Brie Larson dan Samuel L. Jackson lho (meskipun telat 2 tahun terhitung dari rilisnya Unicorn Store di Toronto International Film Festival).
Unicorn Store menandai debut penyutradaraan film panjang Brie Larson. Berbekal pengalaman acting di segudang film-film Box Office dan ‘Oscar darling’, Larson memberanikan diri buat terjun langsung ke kursi sutradara. Eits, gak cuma menahkodai jalannya eksekusi film, doi juga mengemban tanggung jawab ganda sebagai pemeran utama. Jadi, kalo kalian merasa acting Larson ‘kurang’ dalam film ini, kalian punya 2 pihak yang bisa disalahkan: Larson dan Larson (HEHEHE AMPUN).
Mungkin kalian udah akrab dan familiar melihat Larson sebagai sosok ibu muda tangguh yang dipaksa menjadi dewasa (Room, 2015), jurnalis slash pecinta alam yang berani (Kong: Skull Island, 2017), dan of course, sang superhero super kuat (Captain Marvel, 2019)—tapi, jangan heran kalo di film ini kalian akan menemukannya sebagai sosok kekanak-kanakan yang naif dan clueless. Yap, di film ini, Larson menjadi Kit, perempuan childish yang kebingungan menentukan arah hidup setelah Ia drop out dari sekolah seni. Hidup di bawah naungan ortu yang overly-supportive sejak kecil, Kit selalu merasa dihantui bayang-bayang masa kecilnya yang penuh kenyamanan, warna-warni ngejreng, dan tentu saja, Unicorn!
Bagi Kit—dan manusia-manusia lain—menjadi dewasa itu adalah hal yang mengerikan dan sulit, gak sesederhana mengikuti tutorial Youtube. Pasalnya, ketika dewasa, ada beban-beban yang bertambah di pundak—mulai dari mikirin bayar tagihan, balas budi ke ortu, mendaki tangga sosyel, pacaran, nikah, terus mati deh. Repot deh pokonya, gak se-ena pas masih bocah.
Awalnya, menjadi dewasa versi Kit adalah tentang mencari pekerjaan,apalagi doi jadi kena peer pressure karena temen masa kecilnya, Kevin, udah mulai bekerja. Makanya, doi mulai mencari gawe-an di suatu ahensi ala-ala. Meski udah resmi jadi pegawai, Kit masih merasa ada yang kurang dalam hidupnya. Pekerjaannya yang cuma sekadar tukang foto copy berkas di kantor juga gak menjanjikannya jawaban akan krisis eksistensyel yang doi hadapi. Pun, dresscode kantor yang monokrom abu-abu mentok membuat Kit merasa out-of-place dan gak punya tempat di dunia tersebut. Di tengah-tengah kebingungannya, Kit dibuat makin bingung ketika suatu saat doi dapet undangan buat mengunjungi ‘Unicorn Store’, sebuah toko (literally) Unicorn.
Mulai dari sini, Samuel L. Jackson muncul sebagai reinkarnasi dari the-happy-go-lucky Richmond Valentine di Kingsman, cuma bedanya Ia bernama The Salesman, penjaga toko Unicorn yang entah muncul dari mana, dan punya tujuan apa. The Salesman menawari Kit sebuah kesempatan absurd bin ajaib, yaitu kesempatan memelihara Unicorn! Tentu aja, Kit udah nge-fans dan terobsesi sama Unicorn sepanjang hidupnya, merasa Ia gak boleh menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Tapi, sebelum Kit bisa bertemu dan memeluk Unicorn idamannya, ada beberapa syarat yang harus ia penuhi, yaitu: membangun rumah yang menyenangkan buat Unicorn, mencintai diri sendiri, membereskan masalah keluarga, dan yada-yada-yada pesan-pesan serupa yang biasa ada di film coming-of-age.
Oke, sampai titik ini, mungkin kalian udah bisa sedikit menebak atau meraba-raba arah pesan yang mau disampaikan dalam film. Sayangnya, sama seperti tokoh Kit yang penuh dengan kebingungan, eksekusi (atau lebih tepatnya narasi) dalam film ini juga mengalami krisis eksistensi saat menentukan arah pesan yang dibawa. Keeping-your-inner-child vs be-a-grown-up; seeking vs settlement, thinking-outside-the-box vs accepting-the-box-as-it-is; living-in-the-moment vs getting-your-shit-together—alih-alih menjawab persoalan itu semua, film ini seakan-akan terbawa pada arus kegalauannya sendiri. Penonton yang berharap mendapat pencerahan atas isu life crisis yang disinggung, malah menjadi berkali-kali lipat lebih bingung seselesainya film ini.
Eksekusinya serba nanggung—dibilang komedi yha gak juga, dibilang fantasi/arthouse kok agak maksa, dibilang drama juga gak kerasa. Hal ini memang bukan sepenuhnya salah Larson sebagai sutradara. Dalam tataran plot, Samantha McIntyre sebagai penulis naskah sepertinya belum bisa menutupi lubang-lubang yang tersebar di sepanjang cerita.
Satu elemen yang cukup menutupi kekurangan plot adalah detil sinematografi-nya yang caem. Dari mulai transisi warna abu-abu suram yang mencerminkan hidup monoton ke warna-warni ala festival Holi yang meneriakkan kebahagiaan, analogi nama Kit yang berima dengan kata ‘kid’, sampai dresscode Kit dan rekan-rekan koleganya yang timpang. Kalau melihat color grading-nya yang penuh estetika a la Tumblr, effort tim colourist film ini emang perlu diacungi jempol.
Sayangnya, effort serupa gak dicurahkan ke aspek penokohan karakter. Hampir semua karakter dalam film ini terasa sangat dua dimensi, yang mana hal itu kelewat jauh dari realita. Dalam dunia Kit, cuma doi yang digambarkan paling special—karakter lain cuma jadi pengisi yang numpang lewat. Kit seakan digambarkan sebagai satu-satunya manusia yang ‘woke’, sementara teman-teman kantornya yang lain digambarkan gak tau cara have fun dan kelewat serius. Pun, untuk ukuran tokoh utama, karakter Kit juga gak menawarkan sesuatu yang menarik—yang ada, menyaksikan karakter Kit seperti menyaksikan sehelai kertas kosong yang cuma ikut-ikut arus. Karakter Kit yang seharusnya terasa relatable dengan anak-anak 20 something yang kebingungan, malah terasa dibuat berlebihan layaknya anak umur 12 tahun. Mohon maaf nih, tapi jatuhnya jadi agak semi-cringe gitu hwhw.
Selain berbagai karakter yang cuma jadi tamu kehormatan—penggodokan karakter yang harusnya berperan penting dalam hidup Kit (baca: Virgil, The Salesman, sang ortu, Kevin *eh wait what) juga terasa kurang dalam. Pun, maksud kemunculan peran Virgil juga gak dijelaskan secara detil.
Lebih lanjut lagi, ending Unicorn Store juga terasa buru-buru dan kontradiktif sama arah pesan yang mau dicapai. Di ending (SPOILER ALERT), Virgil ujuk-ujuk muncul tanpa ada yang minta—dan malah lantas menihilkan perjalanan pencarian diri Kit (yang sebenernya juga gak mengalami transformasi drastis dalam segi pendewasaan). Kalo gitu, the whole point of this movie jadi terasa sia-sia, kan? Hmm.
Oke, karena ulasan ini sudah terasa sangat jahat (disclaimer: aku bukan haters Brie Larson kok sumpah), sebelum bertambah jahat lagi, seenggaknya ada satu quote dalam film ini yang bisa jadi acuan buat kalian-kalian para remaja yang krisis eksistensyel:
“ The most adult thing you can do is failing in what you really care about.”
Gladys.
Ashiap.
Kurnia Latif Maulani is currently balancing a campus life as an advertising student, a professional life as a freelance writer, and an alternate life inside her own head. You're always welcome to say hi on her Instagram (but beware of her spamming your timeline with cat videos).
Catherine Payne
Thank you for such an amazing and informative article! It’s useful to know how to continue small talk and eventually make it into a great conversation.
Ronald Chen
Catherine PayneThank you for your comment! I will publish more tips on social communication as well as some useful negotiation tricks so stay tuned!
Philip Bowman
Your tips helped me change my attitude to small talk, and I’m not avoiding them anymore. I hope to see more of such posts here in the future.